Kali ini saya akan membahas asal-muasal kenapa sebagian orang Lamongan
Asli jarang makan ikan lele. Ini adalah kisah yang saya ketahui menurut
cerita yang dituturkan dari mulut ke mulut dari sesepuh desa dan orang
tua. Seperti kita ketahui bahwa pada lambang kota lamongan terdiri dari:
ikan lele dan ikan bandeng mengapit keris pusaka, dengan latar belakang
gunung pegat, dan bintang bersinar diatasnya, serta di kiri kanan
lambang ada padi dan kapas. Nah, ternyata dua unsur dari lambang kota
Lamongan yaitu ikan lele dan keris sangat erat kaitannya. Kenapa? Begini
kisahnya…
Legenda ini berlatar belakang pada saat penyebaran Islam di nusantara
ketika para wali mulai aktif melakukan dakwahnya di tanah Jawa, jadi
sekitar tahun 1400~1500-an. Ketika itu ada seorang Nyi Lurah meminjam
piandel berupa keris kepada salah seorang waliullah (sunan) -kemungkinan
Sunan Ampel- untuk mencegah ontran-ontran atau huru-hara sekaligus
untuk menjaga kewibawaannya di wilayahnya (sekitar wilayah Bojonegoro).
Kanjeng Sunan pun memberikan keris yang dimilikinya kepada Nyi Lurah
tersebut dengan beberapa syarat. Diantaranya adalah tidak boleh
menggunakan keris tersebut untuk kekerasan (menumpahkan darah) dan harus
segera dikembalikan kepada Sunan tersebut secara langsung setelah tujuh
purnama (tujuh bulan).
Singkat cerita, akhirnya Nyi Lurah itu berhasil mewujudkan cita-cita dan
harapannya itu. Hari berganti hari dan tujuh purnama telah lewat namun
belum ada tanda-tanda Nyi Lurah untuk mengembalikan keris pusakanya. Hal
inilah yang membuat Kanjeng Sunan menjadi gelisah. Khawatir terjadi
penyalahgunaan pada pusakanya sang sunan pun mengutus salah seorang
cantriknya (murid) untuk menemui Nyi Lurah, untuk mengingatkan perihal
pusaka pinjamannya.
Cantrik tersebut akhirnya berangkat dari Ampeldenta (Surabaya) menuju
rumah Nyi Lurah. Kebetulan Cantrik tersebut berasal dari wilayah pesisir
utara, di bagian barat Gresik (yang sekarang dikenal sebagai Lamongan)
sehingga dia tidak merasa kesulitan (hafal) daerah Nyi Lurah tersebut.
Pada saat itu wilayah Lamongan masih terdiri dari hutan yang lebat yang
mengapit kiri kanan jalan kecil yang menghubungkan Bojonegoro dan
Surabaya. Justru wilayah pesisir Lamongan (sekarang dikenal sebagai
Paciran) yang sudah berkembang, dengan banyak dimukimi orang serta
mempunyai jalanan luas yang menghubungkan kadipaten Tuban dan Gresik.
Jalan tersebut sekarang sudah bagus dan dikenal sebagai jalan Deandles (Anyer~Panarukan).
Nyi Lurah pun menyambut baik kedatangan utusan Kanjeng Sunan tersebut.
Namun Nyi Lurah tidak mau memberikan keris pusaka kepada cantrik
tersebut karena telah berjanji pada Sunan bahwa dia sendiri yang akan
menyerahkan kepada kanjeng Sunan. Padahal cantrik tersebut juga ’merasa’
ditugasi untuk mengambil keris pusaka tersebut. Setelah bersitegang,
akhirnya cantrik tersebut mengalah dan akhirnya menunggu janji Nyi Lurah
tersebut. Namun cantrik tersebut tidak pulang dan memilih memantau niat
Nyi Lurah selama tujuh hari. Dia curiga kalau Nyi Lurah memiliki niat
yang buruk dengan tidak mau mengembalikan keris pusaka tersebut.
Setelah ditunggu tujuh hari dan tak ada tanda-tanda niat untuk
mengembalikan akhirnya cantrik tersebut beraksi. Khawatir tidak bisa
mengemban amanat dan dimarahi Kanjeng Sunan, cantrik tersebut
merencanakan untuk mengambil keris pusaka itu diam-diam dari rumah Nyi
Lurah. Pada malam harinya setelah dirasa keadaan sunyi dan sepi (entah
karena ajian sirep megananda atau apa, saya tidak ada referensi),
cantrik tersebut memasuki rumah Nyi Lurah, dan langsung menuju kamar Nyi
Lurah untuk mengambil keris. Namun aksi tersebut tidak sepenuhnya
berlangsung mulus, setelah berhasil mengambil yang dicarinya ternyata
pemilik rumah tersadar dan mengetahui pencuriannya.
Berhubung rumah Lurah yang disatroni maka seluruh warga desa beserta
aparat desa berbondong-bondong mengejarnya. Kejar mengejar ini
berlangsung sangat jauh hingga mencapai daerah Lamongan. Pada saat di
perbatasan daerah Babat-Pucuk, sebenarnya sang pencuri yang tak lain
adalah cantrik tersebut merasa terpojok, sebuah pohon asam besar
menghalangi jalannya. Dan ketika anak tombak dilemparkan kedadanya
ternyata seekor kijang (rusa) lewat menyelamatkannya, hingga yang
terkena tombak adalah kijang tersebut. Atas kejadian tersebut cantrik
tersebut bersyukur pada Allah dan berujar bahwa anak cucuku dan
keturunanku kelak di kemudian hari, janganlah memakan daging kijang
karena binatang ini telah menyelamatkanku.
Cantrik itu pun melanjutkan perjalannya ke arah Surabaya, sementara
penduduk yang loyal pada Nyi Lurah tetap mengejarnya. Hingga dia
terjebak pada sebuah jublangan (kolam atau bahasa kerennya billabong)
yang ternyata penuh ikan lele. Dimana lele itu mempunyai pathil (taring)
untuk menyengat, sehingga bila berkecipuk di kolam akan terlihat jenis
ikannya.
Suluh obor di kejauhan telah menuju ke arahnya, tak ada jalan lain
selain menyeberangi kubangan kolam lele di depannya. Tapi itu sama saja
bunuh diri, siapa yang mau terluka berdarah-darah menjadi serangan
pathil lele. Namun dengan keyakinan hati dan memohon perlindungan pada
Allah, penguasa alam cantrik sang pencuri keris pusaka itu menceburkan
dirinya ke dalam kolam penuh ikan. Ajaib! Ternyata tak satupun ikan
menyerangnya bahkan dengan tenang dia bisa menyelam dengan ikan-ikan
lele berkerumun di atasnya. Karena melihat banyak ikan lele berenang di
atas kolam maka musnahlah dugaaan kalo si pencuri tersebut bersembunyi
di kolam tersebut. Warga desa yang mengejarnya itu pun akhirnya
mengalihkan pencariannya di tempat lain. Setelah itu menyembullah si
cantrik kepermukaan, dengan mengucap puji syukur kepada Allah sang
catrik pun berujar bahwa anak, cucu dan keturunanku kelak, janganlah
kalian makan ikan lele! Karena ikan ini telah menyelamatkan hidupku.
Daerah tempat diucapkannya wasiat tersebut ada di sekitar daerah Glagah
Lamongan. Akhirnya singkat cerita si cantrik berhasil menyerahkan
kembali pusakanya pada Kanjeng Sunan.
Beberapa cerita mengatakan bahwa cantrik yang mencuri keris pusaka
tersebut bernama Ronggohadi. Dia adalah orang yang kelak babat alas
Lamongan dan menjadi bupati pertama Lamongan yang bergelar Bupati
Surajaya.
Hingga sekarang, kebanyakan masyarakat Lamongan di daerah Glagah, tengah
kota, atau pesisir, sangat jarang yang makan lele sebagai santapan lauk
pauknya apalagi yang berdarah asli Lamongan (ayah dan ibu asli
Lamongan). Mereka khawatir kalau masih ada darah keturunan si cantrik
itu, dan takut melanggar sumpah. Ya.. walaupun pada umumnya orang
sekitar Glagah, Deket dan sekitarnya, di era sekarang ini banyak yang
beternak ikan lele namun jarang sekali mereka yang memakan daging ikan
tersebut. Konon, jika ada anak keturunannya yang melanggar sumpah, maka
pigmen di area tangan atau tubuhnya akan memudar sehingga warna kulitnya
belang-belang hingga menyerupai tubuh ikan lele yang disayat. Wa'allahualam
Namun hal ini tidak berlaku bagi mereka yang mempunyai ayah dari luar
Lamongan atau tinggal jauh di wilayah Lamongan bagian selatan dan barat.