Peran media framing saat ini sangat dominan dan berpengaruh untuk memunculkan mindset pembacanya.
Semalam ada beberapa hal yang membuat saya berfikiran bahwa
kita sekarang ini “dibawa” pada situasi yang saklek, rigid, kaku, keras
hari. Sebabnya informasi yang bertebaran saat ini sudah di formulasikan
sedemikian rupa guna meyakinkan para pembacanya. Saya katakan pada seorang
teman yang chating semalam. Peran media framing saat ini sangat dominan
dan berpengaruh untuk memunculkan mindset pembacanya. Alih-alih
memberikan berita yang objektif, namun ide pokok dari setiap informasi tersebut
bersifat generalisasi personal dengan dibumbui justifikasi
sepihak, yang tidak balance.
“kok ya ada dosen yang se ndeso ini, saklek!”. Ada yang mudah kok dipersulit
Saya teringat pada saat salah satu dosen Sosiologi di
kampus saya, saat memberikan ketentuan-ketentuan tugas yang harus diperhatikan.
Sama halnya dosen-dosen yang lain di awal perkuliahan pasti memberikan
kisi-kisi materi selama satu semester, juga memberikan “peraturan khusus” dalam
menyusun tugas, baik makalah ataupun tugas akhir semester. Jadi ada poin-poin “unik”
saat itu karena berbeda dari dosen yang lain, seperti makalah minimal harus 13
halaman. Jadi 1 halaman hanya pembahasan/isi diluar bab I dan III, dan maksimal
22 halaman. Jika syarat itu tidak dipenuhi jangan harap tugas kita bakal
diterima. Kemudian poin selanjutnya, tidak boleh mengambil referensi dari
internet. Nah, disinilah yang membuat kami para mahasiswanya keberatan. Yah walaupun
internet saat itu tidak se booming sekarang ini, tapi dari situlah
referensi tambahan bisa kami dapatkan. Saat itu, dalam hati saya ngumpat, “kok
ya ada dosen yang se ndeso ini, saklek!”. Ada yang mudah kok dipersulit
(mohon maaf nggeh pak hehe...). bagaimanapun internet itu media informasi seperti
surat kabar, bahkan jumlahnya tidak sedikit hasil makalah, karya ilmiah ataupun
jurnah sekelas internasional di publish disana. Begitulah gumamku dalam
hati sambil geleng-geleng kepala disertai senyuman sinis.
Bebasnya informasi yang terpublish di internet memang
memudahkan siapapun untuk mendapatkan informasi yang ingin dicari. Dari kemudahan
inilah kita seperti memiliki guru tanpa harus menghadiri kelas, tanpa
harus sekolah atau mondok. Namun, dampak yang paling riskan adalah proses filterisasi,
karena tidak ada lembaga yang memfilter informasi-informasi tersebut,
khususnya dalam bidang keilmuan, baik agama ataupun sains. Saat kita menulis
sebuah key word di google, yang muncul adalah website yang paling sering
dibuka oleh peselancar dunia maya. Dan apakah web yang muncul paling atas
adalah hasil karya ilmiah? Sebelumnya perlu kita ketahui, bahwa terdapat
standarisasi dari setiap karya ilmiah yang benar-benar bisa
dipertanggungjawabkan, misal seperti karya ilmiah skripsi. Pasti telah melalui
serangkaian uji coba, pengolahan data, kemudian melakukan penelitian baik
literasi ataupun di lapangan. Hasil karya ilmiah tersebut selanjutnya akan melalui
tahap persidangan, sehingga dinyatakan layak atau tidak untuk di namakan karya
ilmiah, yang akan dipergunakan dalam memberikan solusi atau jawaban dari sebuah permasalahan. Kemudian
standar yang lebih tinggi saat suatu karya ilmiah ingin di publish
melalui jurnal internasional, didalam jurnal internasional pun masih dibagi
dalam Impact Factor yang rendah, menangah, dan tinggi. Belum lagi saat
ingin mempublish ke jurnal internasional dikenakan biaya yang cukup “lumayan”
sekitar $200-$800. Ada juga proses editor yang dilakukan oleh para pakar
ahli dari berbagai negara dengan proses yang sangat ketat, bahkan banyak dari
teman-teman saya gagal mempublish karyanya saat melalui proses editor.
Saat ada informasi yang viral sedang menjadi isu hangat, maka perlu kita gunakan filter pibadi, hati kita, logika kita untuk mencerna informasi tersebut. Jika informasi tersebut salah, pasti kita akan menjadi pihak yang ikut dipersalahkan karena mengamini informasi tersebut, tidak jarang juga kita ikut mempublikasikannya di media sosial.
Kemudian, apa hubungan antara informasi di internet dengan
tulisan ilmiah (yang benar-benar dapat dipertanggungjawabkan) juga keengganan
dosen saya yang tidak menerima referensi dari internet? Teringat sikap dosen
saya yang rigid itu saya baru merasakan maksud dan tujuan beliau pada saat
ini. Disaat informasi sangat mudah didapat dan di publikasihakan di internet,
kita tidak benar-benar tahu apakah informasi tersebut faktual? Dapat dipertanggungjawabkan
secara ilmiah? Atau hanya sekedar tulisan bebas yang berangkat dari
asumsi-asumsi pribadi dan menemukan jawaban melalui pemikiran subjektif tanpa
proses penelitian? Apalagi karya ilmiah tersebut dimuat di jurnal nasional? Apalagi
intenasional? Saat ada informasi yang viral sedang menjadi isu hangat,
maka perlu kita gunakan filter pibadi, hati kita, logika kita untuk
mencerna informasi tersebut. Jika informasi tersebut salah, pasti kita akan
menjadi pihak yang ikut dipersalahkan karena mengamini informasi tersebut,
tidak jarang juga kita ikut mempublikasikannya di media sosial.
Lantas bagaimana jika informasi itu benar? Jika memang
informasi tersebut mengandung keburukan dan dapat memantik gap sosial, menahan
diri adalah solusi terbaik disaat karakter manusia jaman sekarang yang mudah
tersulut emosi.
@rumahplanet
*gambar diambil dari Think Link