Film adalah media
komunikasi yang bersifat audio visual untuk menyampaikan suatu pesan kepada
sekelompok orang yang berkumpul di suatu tempat tertentu (Effendy, 1986: 134).
Sebagai media komunikasi, film mampu menunjukkan sebuah ide, aspirasi, kritikan
terkait kondisi psikologis personal ataupun secara komunal dengan alur cerita
yang divisualkan, untuk dapat disampaikan kepada penontonnya juga kepada obyek
yang dituju. Film dengan karakternya sendiri, memiliki alur yang sesuai dengan
tema, yang memiliki suatu pesan sehingga saat suatu film telah selesai ditonton
maka penonton akan mengetahui maksud dan tujuan film itu di pertontonkan. Dalam
sebuah lirik lagu berjudul Panggung Sandiwara tertulis “pesan yang kocak bikin
kita terbahak-bahak, pesan bercinta bikin kita mabuk kepayang”. Seperti itulah
kiranya saat kita melihat sebuah film dengan karakter/alur cerita tertentu.
Film, juga banyak terpengaruh oleh unsur budaya yang ada
dimana film itu diproduksi. Kritikus film Tonny Trimarsanto, mengatakan bahwa
film dan budaya adalah dua unsur yang sulit dipisahkan, karena keduanya saling
mempengaruhi dan memibentuk karakternya masing-masing. Budaya (dalam sebuah
film) yang dimaksud bukan berarti selalu memunculkan slogan/bahasa, juga model
pakaian kolosal tempo dulu. Tergantung genre suatu judul film tentunya. namun,
yang menarik untuk disimak adalah kebiasaan film India yang hampir selalu
menunjukkan identitas kebangsaannya dengan tarian energik, pakaian khas India
yaitu “Sari”, juga bahasanya yang dipadu padankan dengan tema pokok mengenai
kehidupan sosial. Seperti yang telah ditulis oleh Cak Rijal, yang mengambil
contoh aktor terkenal dari India yaitu Aamir Khan. Aamir khan seperti aktingnya
yang aduhai, juga memiliki karakter kuat dalam memerankan suatu tokoh film yang
penuh dengan pesan-pesan sosial. Melanjutkan dari Cak Rijal, dalam film-filmnya
Aamir Khan selalu menunjukkan sisi sosialnya dengan cerita yang cenderung satire, misal di Film “3 Idiots”, yang
menyentil perilaku lembaga pendidikan yang cenderung memprioritaskan kuantitas
dari pada kualitas, kemudian di film “Peepli” yang mengisahkan kehidupan para
petani miskin di pedesaan yang dipermainkan oleh aparatur desa dan masih banyak
film-film dari Aamir Khan yang diangkat dari relita kehidupan sekitar. Dialog
antara film dan budaya nyatanya mampu menciptakan karya seni yang menarik,
berangkat dari problematika sosial kemudian film memvisualkan fenomena tersebut
melalui seni peran. Salah satu unsur penting yang tidak dilupakan oleh film
India adalah budaya. Dengan film, selain menyampaikan pesan moral juga dapat
memperkenalkan budaya-budaya suatu bangsa, sehingga film yang telah diproduksi
dan disiarkan ke seluruh penjuru dunia akan mengetahui budaya disuatu negara,
contohnya seperti film India diatas. Menariknya, saat film dan unsur budaya
ditarik ke dalam tatanan Indonesia, jika digarap dengan totalitas, juga
mempertahankan culture bangsa, tentu
akan sangat menarik. Kenapa? Tercatat jumlah suku yang terdapat di Indonesia
adalah 1340 pada tahun 2016! Ya, Indonesia adalah satu-satunya negara yang
memiliki ragam suku, budaya terbanyak di dunia! Namun sangat disayangkan, entah
problem apa yang menyelimuti para kreator sinema Indonesia, sehingga seperti
“enggan” untuk menampilkan budaya bangsanya sendiri.
Kehidupan modernis yang cenderung ke barat-baratan telah
banyak mempengaruhi tindak tanduk suatu bangsa, hingga muncul sebuah stigma
bahwa budaya negara diluar negara Barat adalah udik, tidak gaul, ndeso/katrok.
Terlebih di negara kita sendiri Indonesia, sangat jarang para sineas dalam
negeri menampilkan karakter budaya yang kokoh. Sekali muncul karakter yang
mempertahankan budaya, selalu menjadi sasaran “pesakitan” yang “dihujam” keras
dengan gaya hidup barat yang dianggap lebih gaul, sehingga dampak kepada para
penontonnya, juga anak-anak yang melihatnya, akan mengikuti alur cerita di film
tersebut, yang seolah-olah menyeru “jangan menampilkan budaya bangsamu!” dampaknya
hingga saat ini, sangat jarang sekali anak-anak disekitar kita mempertontonkan
kreasi budaya bangsanya sehingga yang dipertontonkan di film-film dalam negeri
adalah hasil “tiruan” budaya luar. Gempuran film-film kelas dunia yang
dibungkus dengan karakter bangsanya masing-masing, harusnya menjadi sebuah kesadaran
personal, bahwa kita harusnya berbangga diri dengan culture bangsa, hingga menjadi identitas suatu bangsa yang disegani
oleh bangsa lain, mudah-mudahan dikemudian hari segera muncul film yang berani
memvisualkan problem sosial, yang dibalut dengan budaya bangsa kita sehingga
kita dapat mengetahui fenomena/problem di suatu daerah, dan segera bangkit dari
sikap egaliter primordial ataupun egaliter politis untuk bahu membahu membangun
kedaulatan bangsa